Oleh : Never Stop to Learn
Domination from Islam Perspective
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering
mendengar atau bahkan menggunakan kata-kata ‘dominasi/ dominan’, ‘mayoritas’,
dan minoritas. Kata ‘dominasi’ berasal dari bahasa Inggris ‘domination’ yang
berarti penguasaan, memiliki kekuasaan atau pengaruh . Kata sifat dari dominasi
adalah dominan. Kelompok yang dominan bisa berimplikasi pada kolompok
mayoritas, superioritas, kuat, berpengaruh atau sejenisnya; sedangkan kelompok
yang tidak dominan bisa berimplikasi pada minoritas, inferioritas, lemah, tidak
berpengaruh atau sejenisnya.
Sekelompok orang bisa melakukan dominasi bila mereka dominan atas kolompok orang lainnya. Dominasi itu akan berarti positif bila pihak yang dominan dalam arti di atas, misalnya, memberikan perlindungan atau pengayoman kepada pihak yang lemah.
Sekelompok orang bisa melakukan dominasi bila mereka dominan atas kolompok orang lainnya. Dominasi itu akan berarti positif bila pihak yang dominan dalam arti di atas, misalnya, memberikan perlindungan atau pengayoman kepada pihak yang lemah.
Dalam syariah Agama Islam digariskan apa
yang disebut dengan ibadah. Kata ‘ibadah atau’ibadat adalah kata benda yang
berasal dari (kata kerja) bahasa Arab ‘abada-ya’badu yang berarti menyembah
atau menghambahan diri kepada Allah SWT. Dalam bahasa Indonesia, kata itu
menjadi ibadah, yang berarti pengabdian kepada Tuhan atau kegiatan untuk
menunjukkan bakti kepada Tuhan, yang bukan hanya digunakan dalam agama Islam
tetapi juga agama-agama lain. Bentuk kata kerja dari ibadah adalah beribadah
atau melakukan ibadah. Dalam Islam, ibadah-ibadah yang dilandasai oleh shahadah
atau kesaksian, bahwa Tiada Tuhan (yang wajib disembah) kecuali Allah dan Nabi
Muhammad adalah utusan Allah, adalah mendirikan shalat, membayar zakat,
melaksanakan puasa, dan menunaikan haji.
Setiap ibadah dalam Islam, apakah itu
shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa, dan menunaikan haji, memiliki dua
demensi. Pertama, kegiatan ibadah dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban atau
penggilan Allah SWT, dalam rangka hablum minallah. Kedua, ibadah yang dilakukan
oleh hamba Allah itu memiliki implikasi sosial. Dimensi kedua ini menyaran pada
implikasi hablum minallah terhadap hablum minannas.
Dalam dimensi kewajiban, ibadah shalat (lima waktu), membayar zakat, menjalankan puasa, dan menunaikan haji merupakan ibadah yang wajib hukumnya (fardlu ‘ain); artinya setiap muslim wajib melaksanakan ibadah-ibadah itu, kecuali haji; ibadah haji wajib hukumnya bagi seorang muslim yang mampu untuk menunaikannya.
Dalam ajaran Islam, ibadah shalat merupakan ibadah yang sangat penting. Karena sangat pentingnya shalat, maka shalat dipandang sebagai tiyang agama. Shalat, digariskan sebagai ibadah yang mampu mencegah umat muslim dari perbuatan keji dan munkar, memiliki dimensi sosial, antara lain, mendidik umat manusia untuk berlaku demokratis. Sewaktu melaksanakan ibadah shalat berjamaah di mushalla atau masjid, antar kaum muslimin tidak ada perbedaan; tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, bawahan dan atasan, kaum elit dan rakyat biasa dan sebagainya. Seseorang yang paling awal datang ke mushalla atau masjid untuk shalat berjamaah, dia memiliki hak untuk menempatkan diri pada barisan terdepan. Implikasi sosial lebih lanjut bisa dilihat bila seorang muslim kembali ke tengah-tengah masyarakat, dia akan mendahulukan atau memperhatikan hak orang lain ketimbang hak yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dia tidak akan merasa menang sendiri; dia tidak akan merasa pintar sendiri; dia tidak akan merasa benar sendiri, dia rame ing gawe sepi ing pamrih (tidak melakukan korupsi dan manipulasi, karena dua perbuatan ini mengarah kepada pengambilan sesuatu yang bukan menjadi haknya), dan sebagainya.
Dalam dimensi kewajiban, ibadah shalat (lima waktu), membayar zakat, menjalankan puasa, dan menunaikan haji merupakan ibadah yang wajib hukumnya (fardlu ‘ain); artinya setiap muslim wajib melaksanakan ibadah-ibadah itu, kecuali haji; ibadah haji wajib hukumnya bagi seorang muslim yang mampu untuk menunaikannya.
Dalam ajaran Islam, ibadah shalat merupakan ibadah yang sangat penting. Karena sangat pentingnya shalat, maka shalat dipandang sebagai tiyang agama. Shalat, digariskan sebagai ibadah yang mampu mencegah umat muslim dari perbuatan keji dan munkar, memiliki dimensi sosial, antara lain, mendidik umat manusia untuk berlaku demokratis. Sewaktu melaksanakan ibadah shalat berjamaah di mushalla atau masjid, antar kaum muslimin tidak ada perbedaan; tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, bawahan dan atasan, kaum elit dan rakyat biasa dan sebagainya. Seseorang yang paling awal datang ke mushalla atau masjid untuk shalat berjamaah, dia memiliki hak untuk menempatkan diri pada barisan terdepan. Implikasi sosial lebih lanjut bisa dilihat bila seorang muslim kembali ke tengah-tengah masyarakat, dia akan mendahulukan atau memperhatikan hak orang lain ketimbang hak yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dia tidak akan merasa menang sendiri; dia tidak akan merasa pintar sendiri; dia tidak akan merasa benar sendiri, dia rame ing gawe sepi ing pamrih (tidak melakukan korupsi dan manipulasi, karena dua perbuatan ini mengarah kepada pengambilan sesuatu yang bukan menjadi haknya), dan sebagainya.
Demikian pula, ibadah puasa juga
mendidik kaum muslimin untuk tidak berpurba sangka (prejudice), tidak melakukan
pembedaan (discrimination), dan sejenisnya terhadap sesama umat manusia. Hal
ini didasarkan pada salah satu unsur puasa adalah menahan lapar dan dahaga.
Perasaan lapar dan dahaga merupakan masalah keseharian yang dihadapi oleh
orang-orang miskin, namun bukan menjadi masalah bagi orang-orang berada. Pada
tataran tertentu, seseorang yang berasal dari kelompok orang berada akan dapat
merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudaranya yang berada di bawah garis
kemiskinan, yaitu perasaan lapar dan dahaga. Hal ini, sebenarnya, mengajarkan
pada umat manusia untuk tidak berpurbasangka, melakukan diskriminasi atau
pembedaan terhadap sesama umat.
Implikasi sosial yang dipancarkan oleh
ibadah zakat bisa timbul dari hikmah ibadah puasa. Seperti diketehui dan
dirasakan bahwa setiap orang yang berpuasa pasti mengalami rasa lapar dan
dahaga. Dengan mengalami sendiri bagaimana rasanya lapar dan dahaga sewaktu berpuasa
itu, maka orang-orang, katakanlah, dari kalangan kaya terlatih untuk merasakan
derita lapar dan dahaga sebagaimana yang dialami oleh golongan fakir-miskin
dalam hidup keseharian mereka. Ajaran ini diharapkan dapat menimbulkan rasa
belas kasihan dan sifat penyantun si kaya terhadap si miskin. Pada waktu-waktu
selepas puasa, diharapkan bahwa si kaya atas kemauannya sendiri akan selalu
mengulurkan tangan, memberikan pertolongan dan bantuan baik secara material
maupun non-material. Bantuan-bantuan itu bisa berupa infag, sedekah dan zakat
(materi) dan nasihat, dorongan moril dan sejenisnya (non-materi). Dalam
kehidupan bernegara, ajaran ini menggariskan kepada para pemegang kekuasaan
untuk mengarahkan segala kebijakan (ekonomi, politik, dan sosial budaya, dan
sebagainya) demi kepentingan orang banyak, khususnya orang miskin, wong cilik
bukan demi kepentingan untuk mencari popularitas dalam rangka mempertahankan
kekuasaan mereka.
Implikasi sosial yang terpancar dalam
ibadah haji, antara lain, adalah terciptanya persaudaraan sesama umat Islam
dari seluruh pelosok dunia dan sekaligus merupakan syiar Islam yang luar biasa.
Setiap musim haji tiba, sejumlah besar umat Islam yang berasal dari seluruh
penjuru dunia berbondong-bondong ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.
Momen ibadah haji ini bisa dimanfaatkan sebagai syiar Islam dan sekaligus
sebagai sarana untuk menjalin persaudaraan sesama muslim sedunia. Usai
menunaikan ibadah haji, seorang muslim dapat memanfaatkan momen ibadah yang
telah dilaksanakan itu sebagai titik tolak untuk mengembangkan tali
persaudaraannya dengan sesama umat muslim, dengan umat sebangsa di tanah airnya
secara lebih baik.
Ibadah haji, sebagaimana dinyatakan oleh Ustadz Fauzan Abidin merupakan ibadah yang dimaksudkan untuk mensucikan diri dari: kotoran lahiriah, kotoran bathiniah, kotoran pikiran dan kotoran sosial. (Radar Banjarmasin, 31 Januari). Seorang muslim yang telah menunaikan ibadah haji berarti yang bersangkutan telah memenuhi lima rukun Islam. Dia adalah seorang muslim yang telah tersucikan dari segala kotoran sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz tersebut.
Ibadah haji, sebagaimana dinyatakan oleh Ustadz Fauzan Abidin merupakan ibadah yang dimaksudkan untuk mensucikan diri dari: kotoran lahiriah, kotoran bathiniah, kotoran pikiran dan kotoran sosial. (Radar Banjarmasin, 31 Januari). Seorang muslim yang telah menunaikan ibadah haji berarti yang bersangkutan telah memenuhi lima rukun Islam. Dia adalah seorang muslim yang telah tersucikan dari segala kotoran sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz tersebut.
Bila ibadah dalam kerangka hablum
minallah memiliki implikasi sosial (hablum minnas) yang positif, dan bila
nilai-nilai baik yang terkandung di dalamnya terpateri secara kukuh dan terpadu
dalam diri seorang muslim dan secara terus menerus diimplementasikan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka Insya Allah berarti dia
adalah mukmin, muslim dan sekaligus muhsin.
Dalam ajaran Islam, hubungan antar manusia (hablum minannas) yang terbimbing melalui ibadah (hablum minallah) telah diatur secara sangat rapi. Dalam kerangka hubungan antar manusia, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan sesama muslim ( ukhuwah al- Islamiyah atas dasar al muslimu akhul muslim), persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah al- wathaniyah), dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah al-basyariyah). Dalam hal ini, para mukminin, muslimin dan muhsinin yang telah menunaikan lima rukun Islam (bukan hanya rukun Islam ke lima) menjadi harapan kita semua untuk menjadi pelopor dalam mengemban ajaran Allah SWT, bahwa: “Islam adalah rahmat bagi sekalian alam”, yang di samping dengan tetap menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, secara sosial mereka akan senantiasa, antara lain, menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini.
Dominasi dalam arti positif , misalnya, dapat kita lihat dalam ajaran Islam di mana hubungan antar manusia (hablum minannas) telah diatur sedemikian rapinya sehingga dominasi pihak yang mayoritas, kuat, kaya, berpengaruh atau sejenisnya harus diupayakan menjadi hal yang positif dan diridhai oleh Allah S.W.T. Dalam pandangan Islam, orang atau kelompok orang yang dominan, kuat, kaya, atau berpengaruh bisa saja melakukan dominasi tetapi harus dalam kerangka untuk melindungi atau mengayomi pihak lain yang lemah. Orang kaya yang secara ekonomi dominan harus melindungi atau mengayomi pihak yang miskin dengan cara memberikan sedekah, santunan, zakat, pekerjaan atau sejenisnya. Dalam dunia kerja hubungan antara majikan dan buruh dalam ajaran Islam tidak berimplikasi pada dominasi majikan terhadap buruh, seperti yang diisyaratkan oleh sistem kelas model kapitalisme.
Seperti diuraikan di atas, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan sesama muslim, persaudaraan sesama warga bangsa, dan persaudaraan sesama manusia. Dengan demikian jikalau kaum muslimin menjadi kekuatan yang dominan maka tidak ada alasan bagi mereka untuk melakukan penindasan, penekanan, intimidasi, perampasan hak atau sejenisnya terhadap kelompok lain yang lemah atau minoritas. Sebab, ajaran Islam menunjukkan bahwa semua umat manusia di bumi ini, tanpa memandang rasa, suku dan agama, adalah saudara.
Dalam pandangan Islam, jikalau terjadi dominasi yang mengarah pada penindasan, intimidasi, pemaksaan, perampasan hak dan sejenisnya, berarti di sana terjadi pula pengingkaran terhadap ajaran Islam bahwa : “Islam adalah rahmat bagi sekalian alam”, dan terhadap hakikat manusia sebagai Allah S.W.T, yang antara lain untuk menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini.
Dalam ajaran Islam, hubungan antar manusia (hablum minannas) yang terbimbing melalui ibadah (hablum minallah) telah diatur secara sangat rapi. Dalam kerangka hubungan antar manusia, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan sesama muslim ( ukhuwah al- Islamiyah atas dasar al muslimu akhul muslim), persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah al- wathaniyah), dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah al-basyariyah). Dalam hal ini, para mukminin, muslimin dan muhsinin yang telah menunaikan lima rukun Islam (bukan hanya rukun Islam ke lima) menjadi harapan kita semua untuk menjadi pelopor dalam mengemban ajaran Allah SWT, bahwa: “Islam adalah rahmat bagi sekalian alam”, yang di samping dengan tetap menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, secara sosial mereka akan senantiasa, antara lain, menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini.
Dominasi dalam arti positif , misalnya, dapat kita lihat dalam ajaran Islam di mana hubungan antar manusia (hablum minannas) telah diatur sedemikian rapinya sehingga dominasi pihak yang mayoritas, kuat, kaya, berpengaruh atau sejenisnya harus diupayakan menjadi hal yang positif dan diridhai oleh Allah S.W.T. Dalam pandangan Islam, orang atau kelompok orang yang dominan, kuat, kaya, atau berpengaruh bisa saja melakukan dominasi tetapi harus dalam kerangka untuk melindungi atau mengayomi pihak lain yang lemah. Orang kaya yang secara ekonomi dominan harus melindungi atau mengayomi pihak yang miskin dengan cara memberikan sedekah, santunan, zakat, pekerjaan atau sejenisnya. Dalam dunia kerja hubungan antara majikan dan buruh dalam ajaran Islam tidak berimplikasi pada dominasi majikan terhadap buruh, seperti yang diisyaratkan oleh sistem kelas model kapitalisme.
Seperti diuraikan di atas, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan sesama muslim, persaudaraan sesama warga bangsa, dan persaudaraan sesama manusia. Dengan demikian jikalau kaum muslimin menjadi kekuatan yang dominan maka tidak ada alasan bagi mereka untuk melakukan penindasan, penekanan, intimidasi, perampasan hak atau sejenisnya terhadap kelompok lain yang lemah atau minoritas. Sebab, ajaran Islam menunjukkan bahwa semua umat manusia di bumi ini, tanpa memandang rasa, suku dan agama, adalah saudara.
Dalam pandangan Islam, jikalau terjadi dominasi yang mengarah pada penindasan, intimidasi, pemaksaan, perampasan hak dan sejenisnya, berarti di sana terjadi pula pengingkaran terhadap ajaran Islam bahwa : “Islam adalah rahmat bagi sekalian alam”, dan terhadap hakikat manusia sebagai Allah S.W.T, yang antara lain untuk menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini.
Dominasi di Amerika
Dalam suatu negara di mana masyarakatnya
heterogin atau beragam apakah dalam hal etnis, ras, agama, kebudayaan atau
dalam hal-hal lainnya, mau tidak tidak mau, pasti menghadapi sejumlah persoalan
akibat dari keberagaman itu. Amerika Serikat, suatu negara besar, misalnya,
yang berlatar belakang keberagaman ras (ada tiga ras besar di sana: putih,
merah, dan hitam), etnis, agama (aliran agama), dan kebudayaan secara historis
terlihat tersibukkan oleh persoalan akibat dari keberagam itu. Warga negara ras
kulit putih memegang dominasi di sana.
Dominasi bisa berimplikasi negatif bila pihak yang dominan melakukan penindasan, penekanan, perampasan hak atau sejenisnya terhadap pihak yang lemah atau minor. Banyak contoh dominasi semacam ini muncul ke permukaan. Secara historis, misalnya, sebagian besar orang-orang Amerika kulit hitam adalah bekas budak. Ketika mereka menjadi orang-orang bebas (freedmen), mereka dipandang sebagai bermartabat rendah (inferior) dan tidak layak untuk diposisikan sederajat dengan orang-orang kulit putih. Orang-orang kulit putih memandang diri mereka sebagai superior dan orang-orang kulit hitam sebagai inferior.
Di Amerika pernah terjadi atau muncul dominasi kelompok orang Amerika kulit putih terhadap kelompok orang Amerika kulit hitam, yang berwujud purbasangka (prejudice), diskriminasi (discrimination), dan pemisahan (segregation), pencabutan hak pilih (disfranchisement), intimidasi (intimidation), hukuman mati tanpa proses hukum (lynching) dan tindak kekerasan lainnya. Dominasi kelompok orang Amerika kulit putih merupakan upaya untuk mempertahankan superioritas mereka dan inferioritas kelompok orang Amerika kulit hitam.
Di bawah dominasi itu, orang-orang Amerika kulit hitam menjadi orang-orang yang tertindas (the oppressed people) dan diperlakukan secara tidak tidak adil; mereka dianggap rendah martabatnya, dan dalam segala aspek kehidupan mereka berhadapan dengan diskriminasi atau pembedaan, serta sering terjadi mereka dipisahtempatkan ke pemukiman khusus untuk orang-orang kulit hitam (ghetto). Dengan dominasi itu pula, mereka menghadapi banyak masalah atau kesulitan dalam dunia pendidikan, pekerjaan, hukum/pelaksanaan hukum, partisipasi politik, dan dalam banyak aspek kehidupan sosial-budaya lainnya.
Untuk mendobrak dominasi kulit putih itu amatlah berat bagi orang-orang Amerika kulit hitam. Sebab, pihak kulit putih dengan berbagai cara berupaya agar pihak kulit hitam tetap berada pada posisi inferioritas sehingga segala upaya untuk memperoleh persamaan derajat yang dilakukan oleh pihak kulit hitam ditepis habis-habisan, kalau perlu dengan kekerasan.
Dominasi bisa berimplikasi negatif bila pihak yang dominan melakukan penindasan, penekanan, perampasan hak atau sejenisnya terhadap pihak yang lemah atau minor. Banyak contoh dominasi semacam ini muncul ke permukaan. Secara historis, misalnya, sebagian besar orang-orang Amerika kulit hitam adalah bekas budak. Ketika mereka menjadi orang-orang bebas (freedmen), mereka dipandang sebagai bermartabat rendah (inferior) dan tidak layak untuk diposisikan sederajat dengan orang-orang kulit putih. Orang-orang kulit putih memandang diri mereka sebagai superior dan orang-orang kulit hitam sebagai inferior.
Di Amerika pernah terjadi atau muncul dominasi kelompok orang Amerika kulit putih terhadap kelompok orang Amerika kulit hitam, yang berwujud purbasangka (prejudice), diskriminasi (discrimination), dan pemisahan (segregation), pencabutan hak pilih (disfranchisement), intimidasi (intimidation), hukuman mati tanpa proses hukum (lynching) dan tindak kekerasan lainnya. Dominasi kelompok orang Amerika kulit putih merupakan upaya untuk mempertahankan superioritas mereka dan inferioritas kelompok orang Amerika kulit hitam.
Di bawah dominasi itu, orang-orang Amerika kulit hitam menjadi orang-orang yang tertindas (the oppressed people) dan diperlakukan secara tidak tidak adil; mereka dianggap rendah martabatnya, dan dalam segala aspek kehidupan mereka berhadapan dengan diskriminasi atau pembedaan, serta sering terjadi mereka dipisahtempatkan ke pemukiman khusus untuk orang-orang kulit hitam (ghetto). Dengan dominasi itu pula, mereka menghadapi banyak masalah atau kesulitan dalam dunia pendidikan, pekerjaan, hukum/pelaksanaan hukum, partisipasi politik, dan dalam banyak aspek kehidupan sosial-budaya lainnya.
Untuk mendobrak dominasi kulit putih itu amatlah berat bagi orang-orang Amerika kulit hitam. Sebab, pihak kulit putih dengan berbagai cara berupaya agar pihak kulit hitam tetap berada pada posisi inferioritas sehingga segala upaya untuk memperoleh persamaan derajat yang dilakukan oleh pihak kulit hitam ditepis habis-habisan, kalau perlu dengan kekerasan.
Sebetulnya, dominasi orang kulit
terhadap orang kulit hitam seperti terurai di atas merupakan bentuk
pengingkaran terhadap harapan para pendiri negara Amerika Serikat sebagaimana
tersurat dalam ‘Declaration of Independence’ (Deklarasi Kemerdekaan) negera
itu, yaitu bahwa ‘all men are created equal’ ( semua manusia diciptakan
sederajat atau sama).
Dominasi Mayoritas terhadap Minoritas
Seperti halnya masyarakat Amerika,
masyarakat Indonesia pun juga dikenal sebagai masyarakat yang mejemuk, beragam
atau heterogin. Kita hidup bersama dalam keberagaman. Keberagaman itu bisa
terlihat dari keberagaman etnis, kebudayaan, agama, dan lain-lain.
Dalam masyarakat yang beragam (pluralistik) sering terjadi kelompok tertentu merasa lebih tinggi dari kelompok yang lain. Kelompok-kelompok yang sering memperlihatkan dikotomi, misalnya: kelompok mayoritas-minoritas, kelompok kuat-lemah, kelompok kaya-miskin, dan sebagainya. Dalam kondisi semacam ini dominasi yang negatif sifatnya mungkin saja terjadi.
Bahaya dominasi negatif yang lain bisa saja muncul bila dominasi itu didasarkan pada aspek suara mayoritas. Suara mayoritas belum tentu memiliki implikasi pada kebenaran. Sekedar contoh, keputusan sesaat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menangkap pencuri sepeda motor di mana mayoritas atau bahkan seluruh orang yang ada di tempat kejadian itu menghendaki agar si pencuri itu dibunuh dan dibakar. Tindakan brutal dan keji yang mirip dengan lynching (hukuman mati secara kejam tanpa proses hukum/pengadilan di Amerika, akhir abad 19 sampai menjelang pertengahan abad 20) ini jelas tidak bisa dibenarkan karena melanggar hukum. Massa dalam situasi dan kondisi apapun tidak diperbolehkan ‘main hakim’ sendiri walaupun mayoritas dari mereka mendukungnya.
Berbicara tentang mayoritas dan minoritas, tidak ada salahnya kita melihat kembali sebuah kisah pewayangan. Konon, Negeri Alengka Diraja yang diperintah oleh Rahwana, raja yang angkara murka. Dia ingin memperistri Dewi Shinta yang telah diperistri Shri Rama. Singkat cerita, Shri Rama dibantu oleh pasukan kera berencana menyerang Alengka. Sidang dalam rangka untuk membahas rencana menghadapi serangan dari bala tentara Shri Rama pun digelar. Ketika sidang itu berlangsung, ada satu orang yang adik kandung sang raja, Bambang Wibisana, menolak aksi penyerbuan terhadap pasukan Shri Rama dan meminta sang raja untuk mengembalikan Dewi Shinta kepada suaminya secara damai. Sebab, dia tahu bahwa tindakan sang raja adalah tidak benar, tidak bermoral, dan melanggar hukum. Alkisah, dia melakukan ‘walk-out’, meninggalkan sidang dan lalu bergabung dengan kelompok pengemban nilai-nilai kebenaran.
Dalam masyarakat yang beragam (pluralistik) sering terjadi kelompok tertentu merasa lebih tinggi dari kelompok yang lain. Kelompok-kelompok yang sering memperlihatkan dikotomi, misalnya: kelompok mayoritas-minoritas, kelompok kuat-lemah, kelompok kaya-miskin, dan sebagainya. Dalam kondisi semacam ini dominasi yang negatif sifatnya mungkin saja terjadi.
Bahaya dominasi negatif yang lain bisa saja muncul bila dominasi itu didasarkan pada aspek suara mayoritas. Suara mayoritas belum tentu memiliki implikasi pada kebenaran. Sekedar contoh, keputusan sesaat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menangkap pencuri sepeda motor di mana mayoritas atau bahkan seluruh orang yang ada di tempat kejadian itu menghendaki agar si pencuri itu dibunuh dan dibakar. Tindakan brutal dan keji yang mirip dengan lynching (hukuman mati secara kejam tanpa proses hukum/pengadilan di Amerika, akhir abad 19 sampai menjelang pertengahan abad 20) ini jelas tidak bisa dibenarkan karena melanggar hukum. Massa dalam situasi dan kondisi apapun tidak diperbolehkan ‘main hakim’ sendiri walaupun mayoritas dari mereka mendukungnya.
Berbicara tentang mayoritas dan minoritas, tidak ada salahnya kita melihat kembali sebuah kisah pewayangan. Konon, Negeri Alengka Diraja yang diperintah oleh Rahwana, raja yang angkara murka. Dia ingin memperistri Dewi Shinta yang telah diperistri Shri Rama. Singkat cerita, Shri Rama dibantu oleh pasukan kera berencana menyerang Alengka. Sidang dalam rangka untuk membahas rencana menghadapi serangan dari bala tentara Shri Rama pun digelar. Ketika sidang itu berlangsung, ada satu orang yang adik kandung sang raja, Bambang Wibisana, menolak aksi penyerbuan terhadap pasukan Shri Rama dan meminta sang raja untuk mengembalikan Dewi Shinta kepada suaminya secara damai. Sebab, dia tahu bahwa tindakan sang raja adalah tidak benar, tidak bermoral, dan melanggar hukum. Alkisah, dia melakukan ‘walk-out’, meninggalkan sidang dan lalu bergabung dengan kelompok pengemban nilai-nilai kebenaran.
Pesan moral dari dua peristiwa di atas
mengisyaratkan bahwa suara mayoritas bisa dimanfaatkan untuk pembenaran hal
yang bathil, inkonstitusional dan sejenisnya oleh kelompok yang dominan
(mayoritas). Bambang Wibisana yang minoritas merupakan cermin kebenaran.
Rahwana yang didukung oleh suara mayoritas adalah cermin kezaliman/kebathilan.
Kebenaran yang terpancar dari diri si Bambang Wibasana tidak diindahkan oleh
yang mayoritas. Suara mayoritas ala Negeri Alengka diselimuti oleh
keangkaramurkaan dan keserakahan.
Dalam situasi Indonesia, jikalau kelompok tertentu mampu melakukan dominasi dan lalu mewujudkannya dalam bentuk penindasan, intimidasi, perampasan hak, akal-akalan, kolusi-korupsi-nepotisme, purbangsangka (prejudice), diskriminasi, pemisahan (segregation ), pengusiran dan sejenisnya merupakan perwujudan pengingkaran kita terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan sumber hukum dari segala sumber hukum.
Untuk direnungkan
Dalam situasi Indonesia, jikalau kelompok tertentu mampu melakukan dominasi dan lalu mewujudkannya dalam bentuk penindasan, intimidasi, perampasan hak, akal-akalan, kolusi-korupsi-nepotisme, purbangsangka (prejudice), diskriminasi, pemisahan (segregation ), pengusiran dan sejenisnya merupakan perwujudan pengingkaran kita terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan sumber hukum dari segala sumber hukum.
Untuk direnungkan
Dengan demikian, alangkah indahnya,
alangkah bijaksananya kalau kita berpikir, berbicara dan bertindak dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan atas dasar suara mayoritas yang
diyakini terdapat celah-celah ketidakbenaran, ketidakadilan, inkonstitusional
dan sejenisnya dan diyakini dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu demi
kepentingan pribadi, kelompok , atau sejenisnya yang sifatnya sesaat, tetapi
atas dasar kebenaran, keadilan dan keterpihakan pada rakyat banyak, yang bisa
diterima oleh semua pihak dan diradhai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa serta dalam
kerangka untuk membangun bangsa dan negara. Bila kita berada dalam lingkaran
mayoritas dan tahu keangkaramurkaan dan ketidakadilan ada di dalamnya,
hendaknya kita amalkan ajaran : “Katakan yang benar itu benar walau anda merasa
pahit ketika mengatakannya”. Mari kita tegakkan kebenaran dan keadilan pada
segala lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Walaupun dalam
kondisi bangsa yang majemuk (pluralistik), semangat Bhineka Tuggal Ika’ kita
jangan sampai pudar. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar