Sabtu, 02 April 2016

EKOKRITISISME

Kajian Ekologis dalam Sastra
Posted by Never Stop to Learn on March 06, 2013
Pengantar
Dalam kehidupan masyarakat terdapat banyak persoalan. Walaupun dalam kenyataan nya tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain : untuk kemudahan pemahaman- persoalan-persoalan dalam kehidupan ini dapat digolongkan dalam tiga hal: (a) persoalan manusia secara personal, (b) persoalan antar manusia yang satu dengan yang lainnya, termasuk dengan alam sekitarnya, dan (c) persoalan manusia dengan Tuhan (Nurgiyantoro, 1998 : 323).

Sebagai manusia sebagai anggota masyarakat, dia mungkin saja mengungkapkan persoalan yang menyangkut dirinya sendiri, persoalan yang menyangkut manusia lain, dan persoalan yang menyangkut dirinya dengan Tuhannya. Pengungkapan persoalan itu, mungkin saja dilakukan melalui sejumlah cara: (a) cara ilmiah, dan (b) fiksi. Kedua cara pengungkapan persoalan ini memiliki kaidah atau konvensi masing-masing, yang tentu saja, berbeda antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan, ada dua orang menyaksikan para gelandangan dan pelacur. Orang pertama adalah sosiolog, dan kedua kebetulan seorang penyair. Tentu kedua orang ini akan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap persoalan hidup yang sama. Bila cara pandang berbeda, maka cara pengungkapan tentu berbeda. Orang yang pertama mengungkapkannya melalui karya ilmiah dan yang kedua mengungkapkan melalui puisi, syair atau prosa fiksi.
Dengan demikian, karya sastra pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap situasi dalam masyarakat sekelilingnya. Dengan demikian karya sastra itu merupakan refleksi atau cerminan kehidupan dalam masyarakat, yang diamati oleh pengarang, dibumbui respon atau tanggapan dan imaginasi pengarang terhadap kehidupan itu. Andre Hardjana menegaskan bahwa ” Sastra”sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat- pada hakekatnya adalah kehidupan lewat bentuk bahasa (1981 : 10).
Karya sastra merupakan suatu produk ciptaan seorang sastrawan, di dalamnya ada yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Karya sastra ditulis atau dicipkaan oleh sastrawan bukan untuk dibaca sendiri, melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi masukan, sehinggapembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya. Hal ini dapat membuktikan bahwa karya sastra dapat mengembangkan kehidupan dan kebudayaan masyarakat.
Ecocriticism
lstitah ekokritik berasat dari bahasa lnggris ecocriticism yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata criticism. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubungan-hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungan-lingkungannya. Kritik dapat diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penitaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu. Secara sederhana ekokritik dapat dipahami sebagai kritik berwawasan tingkungan. Dalam pemikiran barat telah terjadi peratihan-peralihan orientasi pemikiran. Pemikiran zaman kuno berorientasi pada alam (kosmosentris); pemikiran abad pertengahan berorientasi pada ketuhanan (teosentris); pemikiran zaman modern berorientasi pada manusia (antroposentris); dan pemikiran abad ke-20 berorientasi pada simbol (logosentris) (Siswo Harsono, 2008).
Menurut Greg Garrard (2004), ekokritisisme mengeksplorasi cara-cara mengenai bagaimana kita membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya. Ekokritisisme diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakan-gerakan lingkungan modern. Greg Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: (a) pencemaran (pollution), hutan belantara (wilderness), bencana (apocalypse), perumahan/tempat tinggal (dwelling), binatang (animals), dan bumi (earth).
Istilah ekokritisisme dapat ditelusuri melalui sejumlah tulisan (buku), seperti the Introduction to The Ecocriticism Reader (1996). Buku Glotfelty ini merupakan antologi tradisi ekokritisisme Amerika yang cukup penting. Apa ekokritisisme itu? Ekokritisisme merupakan kajian tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Seperti halnya kritisisme feminis mengkaji bahasa dan sastra dari perspektif kesadaran gender, dan kritisisme Marksis membawa kesadaran model-model produksi dan kelas ekonomi kepada pembacaan teks, ekokritisisme mengkaji sastra dengan pendekatan berbasis bumi (alam) Greg Garrard (2004)
Sejumlah pertanyaan diajukan oleh Glotfelty berkenaan dengan ekokrtik, antara lain: Bagaimana alam direpresentasikan dalam soneta? Bagaimana ilmu pengetahuan terbuka terhadap analisis sastra? Dan apa manfaat timbal balik antara kajian sastra dan wacana lingkungan dalam disiplin-disiplin seperti sejarah, psikologi, sejarah seni dan etika?
Ecokritisisme memusatkan analisis budayanya pada green moral and political agenda. Dalam hubungan ini, ekokritisisme berhubungan erat dengan pengembangan dalam teori filsafat dan politik yang berorientasikan pada lingkungan.
Richard Kerridge mengajukan definisi sebagaimana diketemukan dalam Writing the Environment (1998) seperti definisi ekokritiknya Glotfelty. Definisi ekokritisisme tampak lebih luas, yakni ekokritisisme kultural. Mengacu pada definisi ini, ekokritik menggarap gagasan-gagasan dan representasi-representasi lingkungan di mana saja muncul dalam beragai ruang budaya yang besaar Greg Garrard (2004). Cheryll Glotfelty and Harold Fromm mengajukan gagasan tentang  ecocriticism melalui esai bertajuk The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology, terbit tahun 1996. Kedua pakar itu mencoba menjelaskan konsep back to natur (kembali ke alam) terhadap karya sastra dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada bumi. Ekokritisisme itu sendiri dapat dibatasi sebagai studi tentang hubungan antara karya sastra dan lingkungan fisik. (Glotfelty, dalam Greg Garrard (2004)
Urgensi ekokritisisme dapat secara nyata disampaikan dengan menggunakan sejumlah pertanyaan seperti : (1) Bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi? (2) Peranan apa yang dapat dimainkan oleh latar fisik (lingkungan) dalam alur sebuah novel? (3) Apakah nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah puisi, novel atau drama itu konsisten dengan kearifan ekologis (ecological wisdom)? (4) Bagaimana metafor-metafor tentang daratan (bumi) mempengaruhi cara kita memperlakukannya? (5) Bagaimana kita dapat mengkarakterisasikan tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra) (6) Dalam kaitan dengan ras, kelas, dan gender selayaknya berposisi menjadi kategori kritis baru? (7) Dengan cara-cara apa dan pada efek apa kritis lingkungan memasuki sastra komtemporer dan sastra populer? (Glotfelty & Fromm, 1996), dan (8) Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan yang mempertimbangkan hubungan antara alam dan sastra. Fondasi dasarnya adalah bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan lingkungan (alam). Dengan demikian, ekokritisisme menjadi jembatan bagi keduanya (Greg Garrard, 2004)

Paradigma Ekokritik
Ekokritik memiliki paradigma dasar bahwa setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis dan ekologi dapat dijadikan itmu bantu datam pendekatan kritik tersebut. Kemunculan ekokritik tampaknya merupakan konsekuensi togis dari keberadaan ekologis yang makin memertukan perhatian manusia. Selama dalam dominasi orientasi kosmosentris, teosentris, antroposentris, dan logosentris, keberadaan ekologis terlalu jauh dari pusat orientasi pemikiran dan bahkan terpinggirkan sehingga pada akhirnya terlupakan. Kondisi demikian disebabkan oleh ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu eksploitatif terhadap alam. Hal ini tampaknya berangkat dari pola pikir dikotomis nature-culture (alam-budaya). Kebudayaan melawan alam. Kita mungkin saja menyaksikan bahwa manusia merasa tersingkirkan baik secara fisik maupun budaya akibat kemajuan ilmu dan teknologi, yang mendorong dengan amat kuat munculnya industrialisasi. Industralisasi mendorong munculnya kapitalisme. Dunia industri yang dipelopori kaum kapitalis itu mampu menggeser kebudayaan dan peradaban yang telah mapan (established) sejak nenek moyang. Sebagai contoh, masyarakat petani yang selama ini mengandalkan tanah pertanian sebagai sumber mata pencaharian, harus merelakan tanahnya dibeli dengan cara agak memaksa oleh pemilik modal untuk keperluan industri atau usahanya. Mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pinggiran atau melibatkan diri dalam industri dan/atau usaha pemilik modal. Dengan demikian, bagi mereka yang meninggalkan pertanian, berarti mereka teralienasi secara budaya, yakni, antara lain, bergeser pola hidupnya: dari pola hidup sederhana ala petani ke pola hidup konsumeris (mengikuti pola hidup orang-orang di sekitarnya).
Teori ekokritik bersifat multidisiplin. Di satu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan di sisi lain menggunakan teori ekologi. Teori sastra merupakan teori yang mulidisiplin begitu pula teori ekologi. Datam sudut pandang teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut datam paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Paradigma teori mimetik yang dapat digunakan, misalnya paradigma imitasi dari Plato atau rekreasi, yang kemudian dikembangkan oleh M.H. Abrams dengan teori Universe-nya.
Paradigma Teori Ekologi.
Alam telah menjadi bagian dari sastra. Ini terbukti dengan tidak sedikitnya sastrawan, khususnya dari kalangan penyair, yang menggunakan diksi hutan, laut, pohon, dan lain-lain dalam karya mereka. Namun seiring perkembangan, sastra telah banyak mengalami perubahan, begitu juga alam. Kedua elemen yang tak terpisahkan ini seakan selalu berjalan beriringan. Sastra tempo dulu adalah wajah alam masa lalu dan sastra sekarang adalah wajah alam masa kini. Sastra membutuhkan alam sebagai inspirasinya, sedang alam membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya.
Adalah Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm (1996) yang mengetengahkan gagasan tentang ecocriticism atau ekokritik, lewat eseinya yang berjudul “The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology”. Melalui eseinya itu mereka bermaksud untuk mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra, di mana pendekatan dilakukan dengan menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya. Ekokritisisme sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan hidup (Glotfelty, 1996).
Ekokritisisme atau ˜kajian hijau” muncul di Amerika Serikat pada akhir 1980-an dan di Inggris pada awal 1990-an, dan masih ada suatu gerakan yang perlu dicatat. Adalah Glotfelty yang juga co-founder (salah satu pendiri) The Association for the Study of Literature and Environment (ASLE), menerbitkan Jurnal ISLE (Interdisciplinary Studies in Literature and Environment) pada 1993 sebagai cara atau upaya untuk mengkampanyekan gerakan itu. Namun demikian, ekokritisisme ini berbeda bentuk pendekatannya dengan kritik-kritik yang muncul sebelumnya; ekokritisisme dikenal secara luas sebagai serangkaian asumsi, doktrin, atau prosedur yang tampaknya muncul dalam batas-batas akademis. Itulah sebabnya mengapa ekokritisisme tampak menjadi gerakan terkuat di universitas-universitas di Wilayah Barat Amerika Serikat, keluar dari kota-kota besar, dan dari pusat-pusat kekuatan akademis di Wilayah Pantai Timur dan Barat†(Barry, 2002).
Karya Sastra dan Ekokritisisme
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan ekokritisime dalam sastra. Pertanyaan-pertanyan itu adalah sebagai berikut:
 (1) Bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi?
(2) Peranan apa yang dapat dimainkan oleh latar fisik (lingkungan) dalam alur sebuah novel?
(3) Apakah nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah puisi, novel atau drama itu konsisten dengan kearifan ekologis (ecological wisdom)?
(4) Bagaimana metafor-metafor tentang daratan (bumi) mempengaruhi cara kita memperlakukannya?
(5) Bagaimana kita dapat mengkarakterisasikan tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra)
(6) Dalam kaitan dengan ras, kelas, dan gender selayaknya berposisi menjadi kategori kritik baru? dan
(7) Dengan cara-cara apa dan pada efek apa kritik lingkungan memasuki sastra komtemporer dan sastra populer?
Dalam kajian ini, penulis hanya akan mencoba menjawab sejumlah pertanyaan dari 7 pertanyaan yang diajukan di atas.
(a) Representasi Alam dalam Puisi
Memperhatikan konsep sastra hijaudan kembali ke alam atau back to nature dalam karya sastra , William Wordsworth melalui sajaknya secara signifikan berhubungan dengan keindahan hutan, pegunungan, bunga, binatang, dan laut. Pada waktu itu, revolusi industri sangat mempengaruhi setiap kehidupan manusia (Frederik, 1988). Dan ia muncul dengan konsep itu dalam sajak-sajaknya. Baginya, yang hidup dalam suatu negara hampir sepanjang hayatnya, alam dianggap lebih dari (sekadar) sumber pengaruh spiritual, atau sumber relaksasi.
Dalam konteks puisi Indonesia, D. Zawawi Imron terlihat akrab dengan alam melalui sejumlah puisinya. Salah satu puisinya yang berjudul Pemandangan dijadikan bahan kajian dalam artikel ini.
Pemandangan

D. Zawami Imron
Kubiarkan bakau-bakau di rawa pantai itu melanjutkan pesanmu,
awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jingga
Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu, dahan-
dahan yang sudah mati kembali menari-nari menyambut
embunmu senjahari
Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat ingin ke sana
Tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai
Dengan keharuan, mungkinkah cukup satu denyutan?
1978
Dalam perpektif teori Universe-nya Abrams, puisu di atas dapat ditinjau dari 4 (empat) sudut pandang: ekspresif, mimesis, obyek, dan pragmatis. Dua sudut pandang di antaranya, yakni: ekspresif dan mimesis, digunakan untuk menanggapi puisi di atas.
Sebelum menulis puisi, dalam perspektif ekspresif, penyair tentu sudah memiliki ide atau gagasan yang akan disampaikan melalui puisinya. Ide atau gagasan itu tentu dia dapat melalui pengamatan terhadap lingkungan sekitarnya. Banyak hal yang telah dapat diamati. Namun, dalam kaitan dengan puisi di atas, alam merupakan hal yang paling menarik. Penyair ini menjadikan alam sebagai medium untuk menyampaikan gagasannya kepada pembaca atau lawan tuturnya. Diksi yang digunakan berkait dengan istilah-istilah alam untuk lingkungan pantai seperti pantai, bakau, laut , rawa, awan, dahan, angin, air embun, senjahari, dan cahaya. Benda-benda ini seolah sebagai makhluk hidup yang mampu berinteraksi dan sekaligus menyampaikan keluh kesahnya kepada manusia.
Secara umum, puisi di atas berbicara tentang pemandangan di pantai yang dihadirkan dengan penutur tunggal. Secara khusus puisi itu menceritakan bagaimana dia (penutur) tersebut berinteraksi dengan alam “Kubiarkan bakau-bakau di rawa pantai itu melanjutkan pesanmu, Seolah penutur ini mengetahui bahwa bakau-bakau yang telah rusak itu meminta bantuan kepadanya dan manusia umumnya untuk memelihara bakau-bakau itu; Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu” menyiratkan bahwa air laut pun tidak tinggal diam, yang dengan riaknya meminta agar manusia memelihara hutan bakau, bukan membiarkan atau bahkan merusaknya.
Secara mimesis, puisi ini merefleksikan adanya banyak kerusakan alam. Secara faktual, kerusakan alam terjadi di mana-mana. Pembabatan hutan secara liar terjadi dengan maraknya. Kebakaran hutan selalu menghiasi bumi pertiwi di kala kemarau tiba; sebagai akibatnya kesedian dan kesengsaraan menimpa sebagian anak negeri. Penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan) menerpa dinding-dinding alat pernapasan di dalam dada mereka. Hutan bakau yang juga penting bagi keseimbanan ekologi pantai, juga mengalami kerusakan. Rusak karena sengaja atau tidak sengaja. Rusak karena sengaja sering terjadi; hutan bakau diganti dengan bangunan demi keuntungan ekonomi. Rusak karena tidak sengaja karena manusia-manusia di sekitarnya tidak memiliki kepedulian terhadap hutan bakau. Pemandangan di pantai yang seharusnya indah, mulai kehilangan keindahannya dan kesejukannya. Dari sudut pandang memisis, puisi yang berjudul pemandangan dapat dikatakan sebagai refleksi dari lingkungan alam yang mulai rusak.
Secara ekokritik, penyair puisi ini mengetahui bahwa lingkungan alam, khususnya pantai dengan segala aspeknya, banyak mengalami kerusakan. Kerusakan lingkungan alam ini dapat disebabkan karena adanya pembiaran oleh manusia, atau justru karena adanya perusakan oleh manusia itu sendiri. Kerusakan lingkungan alam dapat saja karena oleh manusia secara sengaja; misalnya hutan bakau itu dibabat untuk kepentingan pembangunan. Kerusakan alam akibat perlakukan manusia dengan cara ini mengacu pada perusakan alam. Sedangkan kerusakan alam yang kesengajaan dapat saja akibat adanya pembiaran lingkungan alam; manusia yang di sekitar lingkungan alam itu tidak melakukan pemeliharaan terhadap lingkungan alam. Baik kerusakan lingkungan alam akibat kesengajaan maupun tanpa kesengajaan, fakta yang ada di mana-mana menunjukkan bahwa banyak lingkungan alam mengalami kerusakan.
(b) Representasi Alam dalam Novel
Menurut catatan Maman S. Mahayana (dalam mahayana-mahadewa.com), ada sejumlah penyair yang mengagumi keindahan alam dan keingininan mereka untuk menjalin persahabatan dengan alam. Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana sampai penyair Abdul Hadi WM dan Sapardi Djoko Damono, termasuk penyair yang memperlihatkan keakraban mereka pada alam. Laut, hutan, awan gunung, pohon, burung, ikan adalah beberapa benda alam yang paling sering digunakan dalam ekspresi kreatifnya. Sejumlah novelis, seperti Sutan Takdir Alisjahbana dalam Anak Perawan di Sarang Penyamun cukup kuat menggambarkan latar alam (hutan), Korie Layun Rampan mengangkat latar alam Kalimantan Timur (Dayak) dalam novel Upacara-nya. Ahmad Tohari cukup kuat menghadirkan latar alam –kehidupan dunia flora dan fauna mulai dari Kubah, Trilogi Rongggeng Dukuh Paruk, Di Kaki Bukit Cibalak.
Karya sastra seringkali memanfaatkan alam sebagai latar fisik dan atau obyek penceritaannya. Alam menjadi bagian penting dalam karya sastra. Banyak pengarang memanfaatkan alam sebagai salah satu inspirasi dalam menghasilkan karya sastranya. Ahmad Tohari, misalnya, secara meyakinkan telah berhasil menggambarkan pentingnya keselarasan hubungan manusia dengan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam jagat raya ini. Tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagian besar hidup bersatu –dan menyatu- dengan semua makhluk hidup dan alam di sekitarnya. Hampir semua tokoh yang ditampilkan Ahmad Tohari adalah gambaran sosok manusia yang selalu menekankan pentingnya menjalin keharmonisan hubungan manusia dengan makhluk hidup dan alam raya ini. Tanpa usaha itu, manusia cenderung akan melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam, kesewenang-wenangan terhadap makhluk lain hidup lainnya
Pelukisan alam, setidak-tidaknya sebagai latar dalam sebuah novel Di Kaki Bukit Cibalak, Ahmad Tohari memanfaatkan sebuah desa yang masih asli dan asri. Dengan dalih pembangunan, desa dengan kondisi alam seperti itu terusik keasliaan dan keasriannya, budaya lokal tergantikan oleh budaya modern. Kita ikuti kutipan berikut:
Sekarang terowongan di bawah belukar puyengan itu lenyap, berubah menjadi jalan setapak. Tak terdengar lagi suara korakan kerbau karena binatang itu telah banyak diangkut ke kota, dan di sana akan diolah menjadi daging goreng atau makanan anjing. Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Burung-burung kucica yang telah turun-temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya. Orang-orang yang biasa memburuh dengan bajak, kemudian berganti pekerjaan. Pak Danu misalnya, yang dulu dikagumi orang karena kecakapannya memainkan bajak, kini bekerja pada Akiat. Ia menjadi tukang timbang ampas singkong. Gajinya berupa makanan yang ia terima pada hari itu plus sedikit uang. Dua orang anak gadis Pak Danu dibawa oleh makelar, menjadi babu di Jakarta, empat ratus kilometer jauhnya dari Desa Tanggir.
Bekas telapak kerbau yang mengukir jalan-jalan setapak telah terhapus oleh gilasan roda-roda sepeda atau sepeda motor. Dari sebuah lorong setapak yang sempit kini terciptalah sebuah jalan kampung yang agak lebar. Orang-orang pulang-pergi melewati jalan itu. Pagi-pagi mereka pergi ke pasar membawa apa-apa untuk dijual di sana. Biasanya mereka menjual akar kayu jati yang mereka gali dari lereng-lereng Bukit Cibalak. Atau daun pohon itu meskipun mereka memperolehnya dengan mencuri. Tinggal beberapa puluh batang pohon jati di Cibalak, di dekat rumah scorang mandor hutan. Pulang dari pasar orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu membawa keperluan hidup mereka. Barang-barang plastik: ember, tali jemuran, stoples, atau payung. Tempat tembakau yang biasa mereka anyam dari jenis rumput telah mereka singkirkan. Dompet plastik ternyata lebih menawan hati mereka. Oh, mereka orang-orang Tanggir tidak merasa terganggu oleh banyaknya sampah plastik dalam pawuan mereka. Mereka punya kesabaran yang luar biasa untuk menjumputi sampah-sampah pabrik itu bila mereka hendak menjadikan isi pawuan mereka sebagai pupuk kompos. (DKBC, episod 1).
Juga, dalam menggambarkan masyarakat yang melarat dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, pengarang yang sama juga memanfaatkan alam pedesaan yang sekian lama dilanda kekeringan. Masyarakat desa itu banyak bergantung pada alam. Kondisi alam yang kering akibat kemarau panjang, berarti ‘mala petaka’ bagi masyarakat itu. Pada setiap kemarau panjang di desa itu sangat sulit didapatkan bahan makanan. Bahan makanan yang diandalkan adalah singkong. “Tidak, tidak. Awal malam yang ceria itu tidak berbias lengking anak-anak Dukuh Paruk. Kemarau terlampau panjang tahun ini. Dua bulan terakhir tiada lagi padi tersimpan di rumah orang Dukuh Paruk. Mereka makan gaplek. Anak-anak makan nasi gaplek. Karbohidrat yang terkandung dalam singkong kering itu banyak rusak. Anak-anak tidak berbekal cukup kalori untuk bermain siang malamâ€. Makanan pendampingnya adalah bongkrek (untuk bahan tempe, sehingga tempe itu disebut tempe bongkrek). Kita ikuti kutipan berikut:
Dua tubuh laki-laki terkapar. Satu di antaranya adalah Sakarya, ayah Santayib sendiri. Laki-laki pertama lunglai oleh racun tempe bongkrek, dan yang kedua pingsan karena kepalanya terbentur tiang kayu. Dua laki-laki lainnya berlalu meninggalkan rumah Santayib. Mereka tentu mempunyai kenangan berkesan atas dua tubuh yang tergolek di tanah dan sepasang suami-istri yang sengaja menelan tempe beracun……
Santayib hanya kuasa menelan ludah. Sementara itu Srintil meronta manja di atas tikar. Santayib ingin memandangnya. Tetapi penglihatannya telah baur. Srintil yang bergerak lucu hanya tampak sebagai hantu yang menakutkan. Santayib menikmati kesadarannya yang terakhir ketika melihat istrinya roboh ke belakang. Dia pun segera terkulai setelah dari mulutnya keluar umpatan; bongkrek asu buntung.  Istri Santayib meninggal ketika dia berusaha memiringkan badannya hendak memeluk Srintil.
Kehidupan manusia selalu berhubungan dengan kondisi-kondisi dikotomis: baik-buruk, pantas-tidak pantas, kaya-miskin, hak (benar)-bathil (salah) dan sejenisnya. Dalam novel yang sama, Ahmad Tohari ingin memanfaatkan kata srintil yang secara harfiah berarti kotoran kambing yang berbutir-butir, untuk memberikan tokoh yang berparas cantih jelita.
Tampaknya, Ahmad Tohari memilih masyarakat Dukuh Paruk sebagai obyek pengamatannya. Ia memilih untuk memulai ceritanya melalui sisi-sisi negatif dari kehidupan masyarakat. Ia mengambil nama tokoh ronggeng dan diberi nama srintil, sebuah nama yang layak dipakai oleh masyarakat, khususnya, masyarakat Jawa. Dunia peronggengan bagi sebagian masyarakat Jawa, khususnya, kaum santri (muslim) dipandang sebagai dunia yang negatif. Seorang ronggeng (penari) umumnya tampil dalam kesenian tayub. Dalam kesenian tayub ini, sang ronggeng itu menari dan seorang laki atau lebih ikut menari mengitari sang ronggeng. Lelaki itu memberikan uang saweran dengan menyelipkannya pada bagian tubuh tertentu dari sang ronggeng tersebut.
Sebelum membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk itu, mungkin saja pembaca akan mendapat kesan bahwa tokoh Srintil ini adalah tokoh yang buruk moralitasnya, kendati ia berparas cantik jelita. Dari awal tokoh ini sudah dapat ditebak nasibnya. Ia diberi nama Srintil, sebuah nama yang diambil dari sesuatu yang sangat menjijikkan, yakni kotoran kambing. Kalau kita membaca mulai dari buku satu, Ronggeng Dukuh Paruk: Surat Untuk Emak, Jantera Bianglala dan Lintang Kemukus Dinihari, kita akan memahami perjalanan hidup tokoh Srintil. Dari awal kisah sampai akhir, harta yang berlimpah tidak membuat tokoh ini berbahagia malah sebaliknya. Nasib tokoh ini sangat tragis sebelum ia mampu memperbaiki pola hidupnya ala ronggeng menjadi wanita somahan yang baik.
Alam merupakan dapat dijadikan bahan inspirasi bagi sastrawan. Sebagai manusia yang sadar akan pentingnya alam bagi kehidupan manusia, seorang sastrawan mungkin saja menyampaikan gagasan, pengalaman, dan keprihatinannya terhadap alam yang dari hari ke hari rusak atau dirusak oleh tangan-tangan yang tidak atau kurang peduli dengan alam raya ini. Kita ikuti kutipan berikut:
Ever since the beginning, nature has become an important part in literature. The evidence shows that lots of authors use nature as one of the inspiration in their works. A number of poets use the word  sea, forest, grass, rain  and so on in his or her poem. But along with the development of the world, literature has changed, and so does nature. Thus, these two elements run as an integrated counterpart. Yesterday’s literature belongs to yesterday’s physical environment and today’s literature belongs to today’s physical environment. Literature needs nature for the inspiration while nature needs literature for its conservation tool (Nugraha, 2009).
Bagi sastrawan, kesadaran mengenai pentingnya lingkungan dalam kehidupan manusia, sudah lama dikumandangkan. Para penyair selalu mengingatkan pentingnya persaudaraan dengan dunia sekitar dan menekankan perlunya manusia menjalin hubungan yang harmonis dengan alaman. Persahabatan dengan alam dan kepedulian penyair terhadap lingkungannya telah menempatkan alam dan lingkungan sebagai sumber ilham yang tiada pernah ada habisnya (Mahayana, 2008).
(c) Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Karya Sastra
Novel Palas karya penulis asal Kalimantan Selatan, Aliman Syahrini, menggambarkan daerah Pegunungan Meratus. Walaupun novel ini disinyalir terinpirasi oleh karya-karya Ahmad Tohari (Lingkar Tanah Lingkar Air (LTLA) dan Ayu Utami (Saman) (Sainul Hermawan, dalam http://www.oocities.com/ejabudaya/), namun penulis memandang layak novel ini dijadikan bahan kajian ekokrisisme. Hal ini karena nilai-nilai kearifan lokal di Kalimantan Selatan dapat dilihat melalui novel ini.
Serupa dengan Ahmad Tohari melalui novelnya Di Kaki Bukit Cibalak dan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, yang menjadi suatu desa atau pedukuhan sebagai titik tolak cerita novel-novelnya, Aliman Syahrani (2004) mengambil daerah pegunungan Meratus, tepatnya di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Bila Ahmad Tohari menyamarkan nama desa dengan Desa Tinggar Jaya di Kaki Bukit Cibalak dan Dukuh Paruk (yang tidak dapat dilacak melalui Peta Dunia), namun Aliman Syahrani menyebatkan setting ceritanya secara jelas, yakni Loksado, daerah pegunungan yang kebanyakan penghuninya suku dayak.
Dalam novel Palas, Aliman Syahrani memanfaatkan Loksado dan masyarakat sebagai obyek penceritaannya. Masyarakat Loksado umumnya beretnis Dayak. Etnis Dayak di Loksado ternyata juga menunjukkan heterogenitas. Ada dayak Ngaju, dayak Maanyan, dayak Bukit (dayak asli), dayak Kayan, dan dayak Iban. Dulu, sebelum Loksado banyak tersentuh peradaban modern. kehidupan masyarakatnya, sebagaimana digambarkan oleh Aliman Syahrani, memegang teguh budaya leluhurnya.
Ekokritisisme, sebagaimana dikembangkan oleh Richard Kerridge sebagai “a broad cultural ecocriticism†( dalam Greg Garrard, 2004 : 4). Bila ekokritisisme dikembangkan ke arah yang cakupannya lebih luas daripada ekokritisisme terhadap alam secara fisik, maka obyek kajiannya tentu akan menjadi lebih luas, yakni kebudayaan secara luas. Secara kultural, kehidupan masyarakat Loksado dapat dijelaskan melalui unsur-unsur kebudayaan, antara lain: (a) peralatan dan perlengkapan hidup, (b) sistem pencaharian, (c) sistem kemasyarakatan, (d) bahasa, (e) kesenian, (f) sistem pengetahuan, dan (g) religi (Soekanto, 2007 : 154).
Peralatan dan perlengkapan hidup masyarakat Loksado masih berupa peralatan dan perlengkapan yang tradisional. Peralatan seperti parang, butah, lukah masih dipergunakan; rumah adat yang disebut balai masih dilestarikan. Sistem pencaharian mereka adalah berladang.Metode berladang mereka memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan metode berladang yang diterapkan oleh etnis lain dan sangat berbeda dengan metode pertanian modern.
Istilah yang digunakan untuk sistem berladang ini adalah huma tugal. Sistem huma tugal ini melewati sejumalh tahapan: mulai manabas,batabang, manyalukut, mamanduk, manugal, basambu, dan diakhiri dengan mangatam. Sejumlah ritual menyertai kegiatan berladang ini (Aliman Syahrani, 2004 : 38 – 41). Masyarakat Loksado memiliki sistem kemasyarakatan tersendiri. Ada kepala adat dan perangkatnya; di samping itu, ada sistem kemasyarakatan yang diatur oleh pemerintah.
Lingkungan alam dan kebudayaan mulai tersentuh oleh peradaban modern. Pengrusakan alam mulai terjadi. Penebangan hutan untuk membuka lahan baru dan mengambil hasil penebangan, mulai merebak. Eksploitasi perut bumi untuk mendapatkan batubaru, semakin merusak ekosistem di wilayah Loksado. Persentuhan peradaban modern mulai terjadi di kawasan ini. Dulu, suara burung berkicau bisa terdengar kemerduannya; sekarang suara itu tergantikan dengan suara lagu-lagu populer; dulu, bunyi sepeda motor atau mobil tidak terdengar, sekarang raungan bunyi mesin itu mulai menghiasi udara di kawasan Loksado. Para muda-mudi di kawasan itu telah mengadopsi gaya hidup masyarakat metropolitan.
Hadirnya novel Palas, antara lain, mengingatkan kita semua untuk tetap menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam sekitarnya. Masalah banjir, seperti diangkat oleh Aliman Syahrani, diakibatkan oleh rusaknya ekosistem hutan karena ulah manusia, yang melakukan illegal logging.
(d) Metafor dalam Novel
Kata srintil mengacu pada kotoran kambing. Binatang, berupa kambing, adalah bagian alam. Ahmad Tohari melalui novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya, tampaknya cukup tega memberikan nama kepada salah satu tokohnya dengan nama Srintil. Pesan apa yang ingin disampaikannya? Melalui alam, Ahmad Tohari seakan menghinakan wanita dengan memberikan nama yang bermakna kotor itu. Pesan yang disampaikan, bahwa perilaku yang kotor tidak akan membawa berkah bagi kehidupannya kelak. Profesi sebagai penari bukan profesi terlarang. Namun yang terlarang adalah perilaku menyimpang dari ketentuan agama dan norma-norma sosial-budaya. Melalui tokoh Srintil ini pembaca, khususnya wanita, hendaknya mampu menjaga harkat dan martabatnya sebagai wanita.
Benda-benda alam dengan ritme harmonis mampu mengajarkan kepada manusia untuk mengikuti ritme harmonis, dan sekaligus manusia dapat mengambil manfaat darinya. Alam memerlukan panas guna membantu kehidupan makhluk di muka bumi. Di sisi lain, udara panas dapat mendera manusia. Ketika udara panas, yang sementara tidak diperlukan manusia, angin pun tiba dan pada saat yang bersamaan ia membuat manusia hilang rasa gerahnya. Namun, bila alam diganggu atau bahkan dirusak oleh manusia, maka keseimbangan ekologis akan juga terganggu, sehingga peristiwa-peristiwa alam (hujan atau gelobang laut, misalnya)
Dalam ajaran Islam, pola kehidupan manusia bertumpu pada azas keseimbangan. Manusia adalah makhluk Tuhan (Khaliq) dan manusia memiliki kewajiban :(a) harus mengabdi kepada Sang Khaliq, (b) menjalin hubungan sosial yang harmonis antar sesama manusia, dan (c) menjaga kelestarian alam. Secara ringkas, manusia harus menjadi khalifah di muka bumi (alam). Manusia mengabdi kepada Tuhan tanpa mengabaikan kepentingan diri pribadi, keluarga dan masyarakat dan lingkungan (alam) sekitarnya. Tuhan menyediakan alam bagi umat manusia, namun pemanfaatannya tidak diperkenankan melampaui batas. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya harus seimbang dengan hubungan antara manusia itu sendiri dengan sesama manusia dan lingkungan (alam).
Dalam Islam, ketentuan mengenai perlindungan alam termasuk dalam kerangka aturan Syariat. Kehidupan liar (wildlife) termasuk dalam ketentuan yang dikenal dengan hima dalam aturan hukum Islam. Konsep hima, menurut Omar Naseef adalah  “reserves established solely for the conservation of wildlife and forest, from the core of the environmental legislation of Islam” (Kawasan yang didirikan khusus untuk perlindungan kehidupan liar dan hutan, yang merupakan inti undang-undang lingkungan Islam). Dengan demikian, hima adalah suatu usaha dalam melindungi hak-hak sumber daya alam yang asli. Hima ditetapkan semata-mata untuk melestarikan kehidupan liar dan hutan. Dalam konsep sekarang, seperti juga digunakan di Indonesia, hima ini sama fungsinya dengan cagar alam (nature reserve) (Sofia Hardani, 4 – 5).
Rasulullah saw. telah meyakinkan bahwa kehidupan liar (wildlife) dan sumber daya alam lainnya mempunyai hak dalam Islam. Hal ini dicontohkan dengan perlakuan beliau terhadap binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sumber alam lainnya. Dalam buku-buku sejarah tentang Rasulullah saw. diriwayatkan bahwa pribadi Rasulullah saw. berperangai sangat kasih kepada bangsa hewan. Rasulullah saw. melarang orang yang membebani binatang (onta, domba) dengan muatan beban yang berat. Rasulullah saw. memerintahkan agar menunggang binatang dengan laku perbuatan yang baik, dan binatang tersebut haruslah sedang dalam keadaan sehat. Rasulullah saw. menyuruh orang yang kebetulan memelihara binatang agar memeliharanya dengan baik. Jika binatang tersebut hendak dikonsumsi, hendaklah ia dalam keadaan baik pula, tidak dalam kesakitan. Rasulullah saw. melarang orang membunuh binatang, kecuali binatang yang hendak dikonsumsi (Sofia Hardani, 5- 6)
Speaking morally, human beings were created by God as His vicegerents (khalifah) in the the phisical world lying within the finite boundaries of time, and they were world-bound even they committed their first transgreesion in the Garden. But the very principle of God’s vicegerency also made them His servants (abd, ibad) who were by virtue of a Primordial Covenant they had affirmed, and a Trust they had taken upon themselves in pre-eternity custodians of the entire natural world (Had, S. Nomanul, 2001 : 112).
Alam memainkan peran yang sangat besar bagi kehidupan manusia (human life). Setiap orang memerlukan alam untuk bertahan hidup, dan alam pun memerlukan orang untuk kelestariannya. Dengan demikian, tidak dapat dipungkuri bahwa alam memberikan pengaruh yang sangat besar bagi manusia dan segala aktivitasnya. Dalam kaitan ini, Peter Barry menegaskan:
For the ecocritic, nature really exists, out there beyond ourselves, not needing to be ironised as a concept by enclosure within knowing inverted commas, but actually present as an entity which affects us, and which we can affect, perhaps fatally, if we mistreat it. Nature, then, isn’t reducible to a concept which we conceive as part of our cultural practice (as we might conceive a deity, for instance, and project it out onto the universe (Barry, 2002).
Bila manusia hidup di muka bumi (alam) ini dengan azas keseimbangan, maka manusia tidak akan mengeksploitasi alam secara membabi buta untuk kepentingan pribadi yang sifatnya sesaat. Sebaliknya, manusia akan memeliharanya sehingga bencana alam yang diduga akibat kerusakan alam tidak akan terjadi.
Namun, yang terjadi pada masa sekarang adalah manusia tidak sepenuhnya mengikuti azas keseimbangan. Manusia banyak melakukan: babat hutan, keruk batu bara, bunuh hewan liar, tangkap ikan dengan pukat harimau, urug rawa, urug sungai, potong gunung tanpa pertimbangan keseimbangan ekologis. Dalam Islam, membunuh hewan diperbolehkan, antara lain, untuk kepentingan makanan, dan dilakukan atas dasar ketentuan-ketentuan syariah. Namun demikian, Islam melarang melakukan sesuatu yang diperbolehkan itu secara berlebihan. Dampak-dampak negatif tentu menimpa pada manusia-manusia, khususnya mereka yang berada di sekitarnya.
Sebagaimana tercermin dalam novel Palas, bahwa kerusakan ekosistem hutan telah terjadi. Ekosistem hutan menjadi rusak akibat olah manusia di sana. Adanya penambangan isi perut bumi tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan, berakibat terjadinya banjir. Pembabatan pepohonan untuk keperluan perkebunan atau pertanian juga berikibat rusak ekosistem lahan (hutan). Pembukaan lahan dengan membabat hutan dan kemudian membakarnya, di samping mengganggu atau bahkan merusak lingkungan, juga akan menyebabkan kebakaran hutan yang hebat. Kebakaran hutan, seperti yang terjadi di sejumlah kawasan di Indonesia, menimbulkan bahaya yang besar bagi kehidupan manusia, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Penutup
Studi yang menghubungkan sastra dan alam atau lingkungan hidup memang belum banyak dibahas dan diayomi benar-benar. Belum banyak kegiatan yang menjadikan lingkungan sebagai pokok persoalan yang digulirkan. Kalau pun ada, hanya sebagai bungkus. Memang baik melakukan hal-hal yang demikian, tetapi permasalahan lingkungan hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan seremonial belaka. Kesungguhan dan kerja nyata telak diperlukan. Sastra dan lingkungan ibarat bayi yang baru lahir. Ia sedang berusaha untuk tumbuh; semoga tak ada aral melintang untuk membuatnya dewasa. Sastra telah banyak berhutang pada lingkungan yang secara lingusitik mengonstruksi kehidupan sosial. Dengan kata lain, alam menjadi sesuatu yang bermakna ketika pengarang memberikan makna atasnya setelah ia mengadakan semacam persinggungan dengan keberadaan-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Du" Petter Maffay-tabulation song